SILASE IKAN
1.
Gambaran
Umum Produk
Dari sebagian ikan yang
telah dimanfaatkan diperoleh limbah perikanan yang berasal dari ikan hasil
tangkapan trawl, sisa-sisa pengolahan dan ikan yang tidak dimanfaatkan pada
puncak musim ikan atau ikan busuk dapat dimanfaatkan dalam bentuk silase.
Sejak dahulu, banyak metode telah dilakukan manusia untuk mengolah berbagai bahan-bahan hasil perikanan menjadi produk yang berguna, termasuk produk yang berasal dari limbah. Berdasarkan data statistik, jumlah ikan yang tidak dapat dikonsumsi lagi oleh manusia (karena merupakan ikan rucah, sisa olahan pabrik, kesalahan dalam penanganan, atau karena produksi berlebihan) dapat mencapai lebih dari 500.000 ton setiap tahun. Meskipun daging ikan tersebut sudah tidak memenuhi syarat untuk dikonsumsi oleh manusia, membuangnya begitu saja merupakan pemborosan, karena ikan tersebut masih dapat diolah dengan proses fermentasi menjadi berbagai produk yang berguna (Afriyanto dan Liviawaty, 1989). Dalam kegiatan industri pengalengan ikan, selalu menghasilkan limbah ikan yang sebenarnya masih dapat dimanfaatkan. Untuk ikan sisa, baik yang tidak terolah dan sisa-sisa pembuatan olahan ikan lainnya, dapat dijadikan pakan ternak berbentuk cairan/likuid ataupun padatan, tergantung kepada pengolahan lanjutannya. Sementara untuk ikan buangan, mungkin yang sudah membusuk, dapat dilanjutkan menjadi bahan untuk pupuk organik, walaupun bau ikannya akan tetap ada untuk beberapa saat (Suriawiria, 2004).
Sejak dahulu, banyak metode telah dilakukan manusia untuk mengolah berbagai bahan-bahan hasil perikanan menjadi produk yang berguna, termasuk produk yang berasal dari limbah. Berdasarkan data statistik, jumlah ikan yang tidak dapat dikonsumsi lagi oleh manusia (karena merupakan ikan rucah, sisa olahan pabrik, kesalahan dalam penanganan, atau karena produksi berlebihan) dapat mencapai lebih dari 500.000 ton setiap tahun. Meskipun daging ikan tersebut sudah tidak memenuhi syarat untuk dikonsumsi oleh manusia, membuangnya begitu saja merupakan pemborosan, karena ikan tersebut masih dapat diolah dengan proses fermentasi menjadi berbagai produk yang berguna (Afriyanto dan Liviawaty, 1989). Dalam kegiatan industri pengalengan ikan, selalu menghasilkan limbah ikan yang sebenarnya masih dapat dimanfaatkan. Untuk ikan sisa, baik yang tidak terolah dan sisa-sisa pembuatan olahan ikan lainnya, dapat dijadikan pakan ternak berbentuk cairan/likuid ataupun padatan, tergantung kepada pengolahan lanjutannya. Sementara untuk ikan buangan, mungkin yang sudah membusuk, dapat dilanjutkan menjadi bahan untuk pupuk organik, walaupun bau ikannya akan tetap ada untuk beberapa saat (Suriawiria, 2004).
Telah dan sedang
dikembangkan perhatian dalam proses produksi protein cair untuk makanan hewan
dari ikan yang disilasekan. Diantara metode-metode pensilasean yang digunakan
adalah perlakuan dengan asam mineral atau organik (sulfuric atau formiat)
dan fermentasi. Produk silase umunya berwarna coklat gelap semi pasta, tidak
seperti konsentrat "stickwater" dalam penampilannya. Proses
pengawetan ikan secara biologis/mikrobiologis disebut sistem ensiling, dengan
hasil disebut silase (silage), serta sebagai jasad yang berperan adalah
bakterilaktat (Suriawiria,2004). Silase ikan juga merupakan produk cair yang
dibuat dari ikan yang dicairkan oleh enzim-enzim yang tedapat pada ikan itu
sendiri dengan menambah asam organik (Afrianto dan Liviwaty, 1989). Silase
adalah produk yang berupa cairan kental hasil pemecahan senyawa
komplek menjadi senyawa sederhana yang dilakukan oleh enzim pada lingkungan yang terkontrol, berdasarkan proses pengontrolan tersebut, maka pembuatan silase ikan dapat dilakukan secara kimia dan biologis (Junianto,2003). Pengawetan ikan dengan proses silase biologis merupakan perkembangan lebih lanjut dari proses pengawetan menggunakan proses AVI dan merupakan pengolahan ikan dengan proses biokimia secara aktif yang dilakukan oleh kelompok bakteri asan laktat. Proses tersebut selain membutuhkan karbohidrat yang baik dan menguntungkan, juga faktor-faktor lingkungan harus diperhatikan. Karbihidrat sebagai sumber energi antara lain tepung serealia dan gula. Penambahan tepung terhadap terhadap gula (5:1) serta campuran tersebut terhadap ikan (1:2 atau1:3). Menurut Wood (1998), bahwa dalam kasus daging dan ikan yang merupakan perishable food. Fermentasi asam telah digunakan sejak zaman purbakal untuk mengawetkan daging dan unuk silase dari limbah ikan, unggas dan hewan-hewan. pH yang lebih rendah dihasilkan karena asam laktat menghambat kerusakan dan mikroorganisme patogen. Secara fisik, terjadi perubahan mikrobiologi dan biokimia selama fermentasi, dengan produksi asam laktat menghasilkan pH yang rendah, penurunan aw, penghambatan kerusakan dan mikroba patogen, enzim proteolitik memecah miofibril dan sarkoplasma protein. Protein miofibril larutan garam menggumpal dan memberikan konsistensi yang kuat dan tekstur pada produk, dan peningkatan komponen aroma karena aktivitas lipolitik dari bakteri asam laktat. Organisme yang bertanggung jawab adalah Pediococcus acidilactici, Pediococcus pentosaceus dan Lactobacillus plantarum sebagaimana bergabung dua atau tiga diantaranya.
komplek menjadi senyawa sederhana yang dilakukan oleh enzim pada lingkungan yang terkontrol, berdasarkan proses pengontrolan tersebut, maka pembuatan silase ikan dapat dilakukan secara kimia dan biologis (Junianto,2003). Pengawetan ikan dengan proses silase biologis merupakan perkembangan lebih lanjut dari proses pengawetan menggunakan proses AVI dan merupakan pengolahan ikan dengan proses biokimia secara aktif yang dilakukan oleh kelompok bakteri asan laktat. Proses tersebut selain membutuhkan karbohidrat yang baik dan menguntungkan, juga faktor-faktor lingkungan harus diperhatikan. Karbihidrat sebagai sumber energi antara lain tepung serealia dan gula. Penambahan tepung terhadap terhadap gula (5:1) serta campuran tersebut terhadap ikan (1:2 atau1:3). Menurut Wood (1998), bahwa dalam kasus daging dan ikan yang merupakan perishable food. Fermentasi asam telah digunakan sejak zaman purbakal untuk mengawetkan daging dan unuk silase dari limbah ikan, unggas dan hewan-hewan. pH yang lebih rendah dihasilkan karena asam laktat menghambat kerusakan dan mikroorganisme patogen. Secara fisik, terjadi perubahan mikrobiologi dan biokimia selama fermentasi, dengan produksi asam laktat menghasilkan pH yang rendah, penurunan aw, penghambatan kerusakan dan mikroba patogen, enzim proteolitik memecah miofibril dan sarkoplasma protein. Protein miofibril larutan garam menggumpal dan memberikan konsistensi yang kuat dan tekstur pada produk, dan peningkatan komponen aroma karena aktivitas lipolitik dari bakteri asam laktat. Organisme yang bertanggung jawab adalah Pediococcus acidilactici, Pediococcus pentosaceus dan Lactobacillus plantarum sebagaimana bergabung dua atau tiga diantaranya.
Silase yang dihasilkan
dapat dipakai sebagai makanan binatang atau dikeringkan dan disimpan hingga
digunakan. Karakteristik silase adalah:
·
pH dari ikan cepat turun dari pH 6,0
atau 6,5 menjadi dibawah pH 5,0 proses fermentasi dikatakan berhasil jika lebih
cepat turunnya pH dan selama silase fermentasi tetap rendah
- kadar asam laktat tinggi, meningkat tajam selama beberapa hari pertama dan senantiasa agak konstan selama fermentasi
- kadar amoniak nitrogennya rendah
- spora bakteri anaerobic dan coliform rendah
- tidak terdapat bakteri patogen seperti Salmonella spp dan Staphylococcus spp
- mempunyai bau khas ikan
- volume gas selama fermentasi relatif kecil
·
selalu stabil untuk waktu lebih dari 6
bulan dalam
bentuk basah dan lebih 1 tahun dalam bentuk kering.
bentuk basah dan lebih 1 tahun dalam bentuk kering.
Menurut Afrianto dan
Liviawati (1989), bahwa silase yang baik akan berubah bentuk menjadi cairan
setelah dibiarkan 5-8 hari. Prosees pencairan daging ikan ini disebabkan oleh
adanya aktivitas enzim poroteolitik, misalnya catepsin yang terdapat didalam
tubuh ikan. Dengan penambahan asam, enzim ini akan segera memecah protein
menjadi gugus peptida yang berantai pendek atau asam amino yang mudah larut
dalam air. Bila silase mengandung sejumlah bakteri pembusuk, adanya aktivitas
dari bakteri pembusuk ini selama masa penyimpanan dapat diketahuiberdasarkan
terbentuknya senyawa ammonia. Pada silase yang bermutu baik, selama penyimpanan
21 hari, persentase senyawa ammonia yang terbentuk sangat rendah, yaitu hanya
sekitar 2% dari jumlah total protein yang dikandungnya. Rendahnya presentase
ammonia yang terbentuk dapat memberikan petunjuk bahwa tidak ada atau hanya
sedikit sekali bakterii pembusuk yang dapat bertahan hidup dalam produk silase
berkualitas baik. Berdasarkan hasil pemeriksaan secara mikrobiologis, ternyata
silase yang dibuat dengan penambahan campuran asam formiat dan propionat tidak
menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri pembusuk atau adapatdianggap steril
Kelebihan dari produk
silase menurut Afrianto dan Liviawaty (1989) adalah : teknik pengerjaan mudah
dan murah, tidak tergantung pada kuantitas atau kualits bahan baku yang
digunakan, dapat dilakukan untuk memanfaatkan ikan-ikan yang tidak digunakan,
dan pengolahan ikan menjadi silase tidak menimbulkan pencemaran terhadap
lingkungan. Sedangkan kelemahan produk silase menurut Afriantiodan Liviawaty
(1989) adalah masalah penyimpanan. Silase berbeentuk cairan membutuhkan ruang
penyoimpaan yang besar.
Silase ikan dapat
dimanfaatkan sebagai salh satu unsur yang dicampurkan kedalam makanan ikan atau
makanan ternak lainnya. Penggunaan silase ikan dalam makanan umumnya dimasudkan
untuk menggantikan seluruh atau sebagian tepung ikan didalamnya (Afrianto dan
Liviawaty,1989). Dalam suatau penelitian yang dilakukan Kusriani et al (2000),
dihasilkan kesimpulan bahwa penggunaan starter bakteri pada teknologi silase
limbah pengolahan ikan dapat menunjang budidaya ikan nila dan lele secara bikultur.
Metode fermentasi telah mampu diberikan kepada jeroan/isi perut ikan, limbah
hasil sembelihan rumah tangga dan limbah unggas, sebagai sumber protein tinggi
bagi pakan ternak dan telah ditemukan bahwa manfaatnya tidak hanya untuk
pengawetan, tetapi juga sebagai kontrol pencewmaran lingkungan dan bahaya atau
resiko kesehatan (Ahmad et al, 1993; Shaw et al, 1994) dalam Wood (1998).
2.
Tujuan
Pengolahan
a.
Memanfaatkan limbah-limbah perikanan
yang berasal dari kegiatan penangkapan, pengolahan dari pabrik, kesalahan
penanganan, dan produksi berlebihan.
b.
Menambah nilai ekonomi limbah-limbah
perikanan yang dihasilkan
c.
Mengurangi ketergantungan tepung ikan
sebagai bahan baku pembuatan pakan buatan
d.
Melakukan pengawetan terhadap
limbah-limbah perikanan
e.
Memenuhi kebutuhan pakan ternak yang
berprotein tinggi
f.
Mengurangi tingkat pencemaran lingkungan
akibat limbah perikanan
g.
Meningkatkan kreativitas dan pendapatan
masyarakat
3.
Alat
dan Bahan yang Digunakan
1)
Alat
· Pisau
· Alat penggiling
daging
· Baskom
· Sendok
(pengaduk)
2)
Bahan
· Ikan rucah
· Garam
· Limbah
pengolahan
· Asam formiat 3%
· Asam propionat
1%
4.
Cara
Pembuatan
Proses pembuatan
silase dapat dilakukan dengan cara kimia dan biologis. Secara kimia dapat
digunakan asam organic dan asam anorganik. Secara biologis dilakukan dengan
menambahkan sumber bakteri asam laktat dan karbohidrat sebagai substrat dan
kemudian difermentasi dalam keadaan anaerob. Menurut Afrianto dan Liviawaty
(1989), pada dasarnya prinsip pembuatan silase ikan adalah menurunkan pH ikan
agar pertumbuhan maupun perkembangan bakteri pembusuk terhenti. Dengan terhentinya
aktivitas bakteri, aktivitas enzim baik yang berasal dari tubuh ikan itu
sendiri maupun dari asam yang sengaja ditambahkan meningkat. Dengan penambahan
garam dan larutan asam , pertumbuhan bakteri pembusuk terhambat, sehingga
memberikan kesempatan kepada jamur atau ragi untuk tumbuyh dengan pesat.
Penambahan larutan asam menciptakan kondisi lingkungan yang asam dan sangat
dibutuhkan dalam proses fermentasi. Menurut Suriawiria (2004), tahapan proses
yang umum dilakukan dalam proses pembuatan silase yaitu: menyiapkan
starter/inokulum bakteri laktat, terbuat dari rajangan kubis (kol). Untuk
membuat starter/inokulum ambillah sebuah kubis. Rajang hingga menjadi bagian
yang kecil, masukkan kedalam tempat tertutp missal kantung plastik. Beri air
secukupnya dengan perbandingan 1:1 (jumlah air sama dengan volume kubis).
Kemudian tambahkan 2,33% garam dapur (penambahan garam dapur ini karena akan
menghambat pertumbuhan bakteri belerang yang sudah ada pada kubis). Tutp rapat
dan simpan selama 5-6 hari, maka proses pembentukan asam laktat yang akan
terjadi. Hal ini dapat diketahui jika nilai pHnya diukur dengann kertas lakmus
menunjukkan angka kurang dari 4. Setelah tercium bau asam (umumnya antara 4-5
hari) campurkan rajangan kubis tersebut kedalam ikan atau ikan membusuk. Lalu
simpan pada tempat tertutup selama 4-6 hari.
Ada
beberapa metode pembuatan silase dari bahan limbah pangan sebagai berikut:
·
Metode Asam (Ikan berlemak rendah). Ikan
atau sisa olahan dicincang dan digiling halus ditambahkan campuran asam formiat
dengan asam propionat(1:1)/100 kg ikan, diaduk 3-4 kali/ hari selama 4 hari
pertama agar homogen. Biasanya hari ke 5 ikan sudah mencair atau menjadi
silase. Simpan silase dalam wadah tertutup, setelah dikeringkam agar menjadi
tepung
- Metode Asam (Ikan berlemak tinggi). Ikan atau sisa olahan dicincang halusditambahkan 3 liter campuran asam formiat dengan asam propionat (1:1)/100 kg ikan, biarkan ikan terendam selama 24 jam, kemudin dipres hingga terpisah lemaknya. Ampas hasil perasan digiling dan dikeringkan
- Metode Biologis. Ikan atau sisa olahan dicincang dan digiling halus ditambahkan kanji (tapioca) sebanyak 20 % berat ikan dan tuangkan air panas dengan perbandingan (1:4) dan dalam keadaan dingin dicampur dengan 12,5% larutan s8umber bakteri asam laktat (asinan kubis). Campuran tersebut dimasukkan wadah tertutup (anaerobic) selama 1 minggu.
Download lengkap artikel di atas pada link berikut!
"DOWNLOAD"
"DOWNLOAD"
No comments:
Post a Comment